Rabu, 02 Mei 2012

Syekh Yusuf

Syekh Yusuf Al-Makassari Al-Bantani
Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.

Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.

Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.


Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, tanggal 03 Juli 1626 dengan nama Muhammad Yusuf. Nama itu merupakan pemberian Sultan Alauddin, raja Gowa, yang merupakan karib keluarga Gallarang Monconglo’E, keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.

Syekh Yusuf sejak kecil diajar serta dididik secara Islam. Ia diajar mengaji Alquran oleh guru bernama Daeng ri Tasammang sampai tamat. Di usianya ke-15, Syekh Yusuf mencari ilmu di tempat lain, mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit, yang mendirikan pengajian pada tahun 1640.

Syekh Yusuf meninggalkan negerinya, Gowa, menuju pusat Islam di Mekah pada tanggal 22 September 1644 dalam usia 18 tahun. Ia sempat singgah di Banten dan sempat belajar pada seorang guru di Banten. Di sana ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten, Pengeran Surya. Saat ia mengenal ulama masyhur di Aceh, Syekh Nuruddin ar Raniri, melalui karangan-karangannya, pergilah ia ke Aceh dan menemuinya.

Setelah menerima ijazah tarekat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin, Syekh Yusuf berusaha ke Timur Tengah. Beliau ke Arab Saudi melalui Srilanka.

Di Arab Saudi, mula-mula Syekh Yusuf mengunjungi negeri Yaman, berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Ia dianugerahi ijazah tarekat Naqsyabandi dari gurunya ini.

Perjalanan Syekh Yusuf dilanjutkan ke Zubaid, masih di negeri Yaman, menemui Syekh Maulana Sayed Ali Al-Zahli.. Dari gurunya ini Syekh Yusuf mendapatkan ijazah tarekat Assa’adah Al-Baalawiyah. Setelah tiba musim haji, beliau ke Mekah menunaikan ibadah haji.

Dilanjutkan ke Madinah, berguru pada syekh terkenal masa itu yaitu Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani. Dari Syekh ini diterimanya ijazah tarekat Syattariyah. Belum juga puas dengan ilmu yang didapat, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu Al Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi. Gurunya ini memberikan ijazah tarekat Khalwatiyah & Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah setelah dilihat kemajuan amal syariat dan amal Hakikat yang dialami oleh Syekh Yusuf.

Melihat jenis-jenis alirannya, diperoleh kesan bahwa Syekh Yusuf memiliki pengetahuan yang tinggi, meluas, dan mendalam. Mungkin bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan (dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).

Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi.

Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.

Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan.

Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu sendiri.

Terlibat pergerakan naasional
Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.

Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Bahkan ia kemudian dinikahkan dengan anak Sultan, Siti Syarifah. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara.

Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji beserta Kompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar.Namun karena kekuatan yang tak sebanding, tahun 1682 Banten menyerah.

Maka mualilah babak baru kehidupan Syekh Yusuf; hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684.

Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini ia memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam. Dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, kebanyakan berasal dari India Selatan. Ia juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Ia juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini.

Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; lokasi pembuangannya diperjauh, ke Afrika Selatan.

Menekuni jalan dakwah
Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar).

Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam di Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru (mister teacher).

Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut.

Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagibertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun.

Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan bangunan peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.

Syekh Yusuf di Sri Lanka

Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf.

Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Syekh Yusuf di Afrika Selatan

Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

Sebagai seorang ulama syariat, sufi dan khalifah tarikat dan seorang musuh besar Kompeni Belanda, Syekh Yusuf dianggap sebagai `duri dalam daging` oleh pemerintah Kompeni di Hindia Timur. Ia diasingkan ke Srilanka, kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan, dan wafat di pengasingan Cape Town (Afrika Selatan) pada tahun 1699. Pada zamannya (abad ke-17), ia dikenal pada empat tempat, yaitu Banten dan Sulawesi Selatan (Indonesia), Srilanka, dan Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan perbedaan kulit.

Murid-murid Syekh Yusuf yang menganut tarekat Khalwatiyah terdapat di Banten, Srilanka, Cape Town, dan beberapa negara di sekitarnya. Mayoritas orang-orang Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan masih mengamalkan ajarannya sampai sekarang ini.

sumber :darisrajih.wordpress.com

Syeikh Abdul Jalil Al Jawawi

Syeikh Abdul Jalil Al Jawawi (syeikh siti jenar)
Beliau (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap Sufiagama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar. dan juga salah satu penyebar
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran – ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Konsep Dan Ajaran Syekh Siti Jenar
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan ; 1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll); 2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu; 3. Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan 4. Ma’rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca wafatnya sang Syekh. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan adalah pada tingkatan ‘syariat’. Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki tahap ‘hakekat’ dan bahkan ‘ma’rifat’kepada Allah (kecintaan dan pengetahuan yang mendalam kepada ALLAH). Oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan kata ‘SESAT’.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa. Hanya saja masing – masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda – beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing – masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar. Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.
Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, ‘Manunggaling Kawula Gusti’ adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang penciptaan manusia (“Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)”)>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham ‘Manunggaling Kawula Gusti’.

Pengertian Zadhab
Dalam kondisi manusia modern seperti saat ini sering temui manusia yang mengalami hal ini terutama dalam agama Islam yang sering disebut zadhab atau kegilaan berlebihan terhadap Illa yang maha Agung atau Allah.
Mereka belajar tentang bagaimana Allah bekerja, sehingga ketika keinginannya sudah lebur terhadap kehendak Allah, maka yang ada dalam pikirannya hanya Allah, Allah, Allah dan Allah…. disekelilingnya tidak tampak manusia lain tapi hanya Allah yang berkehendak, Setiap Kejadian adalah maksud Allah terhadap Hamba ini…. dan inilah yang dibahayakan karena apabila tidak ada GURU yang Mursyid yang berpedoman pada AlQuran dan Hadits maka hamba ini akan keluar dari semua aturan yang telah ditetapkan Allah untuk manusia.Karena hamba ini akan gampang terpengaruh syaitan, semakin tinggi tingkat keimanannya maka semakin tinggi juga Syaitan menjerumuskannya.Seperti contohnya Lia Eden dll… mereka adalah hamba yang ingin dekat dengan Allah tanpa pembimbing yang telah melewati masa ini, karena apabila telah melewati masa ini maka hamba tersebut harus turun agar bisa mengajarkan yang HAK kepada manusia lain seperti juga Rasullah pun telah melewati masa ini dan apabila manusia tidak mau turun tingkatan maka hamba ini akan menjadi seprti nabi Isa AS.Maka Nabi ISA diangkat Allah beserta jasadnya. Seperti juga Syekh Siti Jenar yang kematiannya menjadi kontroversi.Dalam masyarakat jawa kematian ini disebut “MUKSO” ruh beserta jasadnya diangkat Allah.
Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi.
Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Jenar yaitu harus segera menghadap Demak Bintoro. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak. Hingga konon akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Siti Jenar berada.
Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh Siti Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.
Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri “kematian”-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.
Kisah Pada Saat Pasca Kematian
Kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar. Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain. Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.
sumber : wikipedia
Ensiklopedia

Sejarah Syattariyah Cirebon

NASKAH SYATTARIYAH CIREBON:
Riset Awal dalam Konteks Jejaring Islam Nusantara


Mahrus eL-Mawa 





Pengantar

Naskah tulisan kuna (manuscript) merupakan salah satu sumber pengetahuan umat manusia dari dahulu hingga kini. Jika pada masanya naskah itu menjadi bacaan, referensi, dan pedoman manusia, kini naskah itu menjadi kajian yang sangat menarik, baik dari sisi tekstologinya ataupun yang lainnya.1 Sekalipun, di beberapa daerah di wilayah nusantara (Indonesia) bagi para “pewaris”-nya, sebagian naskah tersebut masih menjadi bacaan, dan pedoman hidupnya, terutama terkait dengan tradisi dan budaya lokalnya. Melalui naskah pula, dapat diketahui jejaring asal usul pengetahuan kita.
Dalam konteks naskah keislaman, salah satu naskah yang penting untuk diungkap dalam maksud itu adalah naskah Syattariyah di Cirebon. Di dunia tasawuf dan orde para sufi, nama Syattariyah di nusantara bukanlah hal baru ataupun asing. Trimingham dalam The Sufi Orders in Islam menyebutkan bahwa pada tahun 1679 M./1090 H. ‘Abd al-Ra’uf ibn Ali dari Singkel telah mengenalkan Syattariyah di Aceh dari Mekkah melalui Ahmad Qushashi.2 Syattariyah sendiri dinisbatkan kepada Abdullah al-Syattari (w. 1485 M./890 H.). Kehadirannya di Cirebon melalui beberapa jalur, baik melalui Syaikh Abd al-Muhyi (Pamijahan) dari Abd al-Ra’uf (Singkel), maupun yang lainnya, seperti Kyai Asy’ari (Kendal).3 Perbedaan silsilah inilah diantara salah satu yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam kontek Syattariyah di Cirebon.
Syattariyah, diakui atau tidak, merupakan salah satu tarekat penting di Cirebon, selain tarekat Tijaniyah, Naqsabandiyah, Qadiriyah, ataupun Qadiriyah Naqsabandiyah. Hal itu bisa dilihat dari tersebarnya naskah Syattariyah, baik melalui salinan yang baru ataupun salinan yang lama di tangan masyarakat, dan tempat-tempat penyimpanan naskah (scriptorium).
Sekurangnya, hingga tulisan ini dibuat, telah ditemukan 25 (dua puluh lima) naskah Syattariyah yang diindikasi berasal usul dari Cirebon, baik yang berada di buku katalogus, ataupun di tangan masyarakat. Seperti disebut katalogus Behrend (1998: 245), “Tarekat Syattariyah” di KBG 628, berada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta. Lalu, selain naskah yang berada di PNRI tersebut, dalam katalog Jawa Barat (Ekadjati dan Darsa, 1999: 431-443) naskah tarekat Syattariyah juga disebut beberapa kali dengan kode sebagai berikut; 1244 KKSC/-17, 1245 KKSC/-, 1246 EFEO/EJ-19, 1252 KKSC/-15, 1254 KKSC/-, 1255 KKSC/-, 1258 KKSC/-36, 1259 KKSC/-, 1260 KKSC/-, 1263 KKSC/-, dan 1264 KKSC/-. KKSC itu (sepertinya) kepanjangan dari Kraton Kasepuhan Cirebon.
Naskah lainnya yang sering disebut sebagai naskah tasawuf, tarekat, atau mistik yang berasal dari Cirebon dan diindikasikan sebagai tarekat Syattariyah, seperti disebut dalam Katalog Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Indonesia II (Abady: 1998), antara lain kode 387. Catatan-Catatan tentang ilmu agama, dan mistik pengikut Syattariyah, pemilik Koleksi Snouck Hurgronje; 397. Catatan Mistik dalam ilmu Agama, koleksi Snouck Hurgronje; 438. Catatan dan Do’a-Do’a, pemilik Koleksi Snouck Hurgronje, di Universitas Bibliotheek Leiden, (tentang silsilah syattariyah, do’a, jimat, dan fiqh). Terakhir, seperti dikutip Fathurrahman (2008: 96), naskah Syattariyah Cirebon terdapat pula di perpustakaan Universitas Leiden, Cod. Or. 7446.
Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia menyatakan bahwa dari beberapa sumber pribumi, tarekat-tarekat mendapatkan pengikutnya pertama-tama di lingkungan istana dan lama kemudian barulah merembes ke kalangan masyarakat awam.4 Berangkat dari "temuan" Bruinessen tersebut, maka wajar saja, bila naskah-naskah Syattariyah Cirebon juga sebagian besar berasal dari keluarga kraton atau kesultanan Cirebon.
Berikut ini adalah paparan riset awal tentang naskah Syattariyah Cirebon. Diawali dengan kajian terdahulu (prior research) tentang para pengkaji tarekat Syattariyah di nusantara, khususnya Syattariyah Cirebon, dan asal usul yang berbeda dari Syattariyah Cirebon. Selanjutnya, bahasan tentang naskah Syattariyah Cirebon milik (koleksi) masyarakat sebagai studi awal, dan terakhir teorisasi awal Syattariyah Cirebon dan jejaring Islam Nusantara (Indonesia).

Kajian Terdahulu dan Asal Mula Syattariyah Cirebon

Sejauh penelusuran penulis, berbagai kajian tentang tarekat Syattariyah di nusantara yang terkait dengan di Cirebon telah dilakukan para Indonesianis dan Islamolog, baik yang mengkaji secara khusus dan mendalam, ataupun hanya kajian sebatas tuntutan akademik saja. Dari penelusuran itu, sekurangnya terdapat 2 (dua) model pendekatan kajian; pertama, dengan kajian filologi, dan kedua, kajian non-filologi, seperti sejarah, dan antropologi.
Beberapa peneliti yang telah melakukan kajian dengan pendekatan filologi, antara lain; Muhammad Abdullah (1995), “Paham Wahdat al-Wujud dalam Naskah Satariyah Karya Syeikh Abdurrouf Singkel: Suntingan Teks dan Pengungkapan Isinya”, dan setahun berikutnya, Abdullah menulis tesis (1996), “Doktrin Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi dalam Naskah Syattariyah: Suntingan dan Kajian Isi Teks”; Berikutnya, Tommy Christomy (2001), “Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of Pamijahan”; Setelah itu, Christomy menulis disertasi (2003), dan diterbitkan (2008) dengan judul Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java; Oman Fathurrahman juga menulis untuk disertasi (2003) lalu diterbitkan (2008) menjadi Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks; Sebelumnya (1999), Fathurrahman juga melakukan kajian atas Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Aburrauf Singkel di Aceh Abad 17; Duski Samad (2003) menulis disertasi dengan judul, “Tradisionalisme Islam di Tengah Modernisme”; Fakhriati (2007) menulis disertasi “Dinamika Tarekat Syattariah Di Aceh, Telaah terhadap Naskah-Naskah Tarekat Syattariyah dari Periode Awal Hingga Periode Kemerdekaan”; dan terakhir, Achmad Opan Safari (2010) menulis tesis tentang “Tarekat Sattariyah Kraton Kaprabonan Suatu Kajian Filologis”.
Adapun kajian non filologis terkait dengan Syattariyah di Cirebon, antara lain; Atiek Fariza (1989), “Tarekat Syattariah di Keraton Kanoman Cirebon”; dan AG. Muhaimin (1995), The Islamic Traditions of Cirebon: Adat and Among Javanese Muslims; lalu diterjemahkan (2002) ke dalam bahasa Indonesia oleh A. Suganda menjadi, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon. Namun sebelum itu, telah dimulai suatu kajian awal, baik dengan penjelasan pendek, ataupun ulasan lebih luas. Tulisan yang dimaksud, antara lain; A.D. Rinkes (1919, 53: 431-581), “De Heiligen van Java”, Tijdscrift voor Indische Tall, Land-, en Volkenkunde; Karel A. Steenbrink (1984), Berbagai Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19; dan A.M. Santrie (1987), Martabat Tujuh Karya Syeikh Abdul Muhyi.
Untuk gambaran (awal) ajaran tarekat Syattariyah Cirebon terdapat pada buku Petarekan Syatariah Muhammadiah yang disusun oleh Rama Guru Sulaeman Sulendraningrat dari Keprabonan. Beberapa kitab lain yang berbentuk naskah ditemukan di keluarga atau pengamal tarekat Syattariyah, antara lain milik Ki Bagus Asmi di desa Pagongan Cirebon Barat. Biasanya, pembacaan kitab tarekat Syattariyah hanya dibaca sesama anggota saja, usai dibaiat dari guru yang sama. Bila belum menjadi anggota, memperlihatkan kitabnya saja terkesan enggan memberikannya, karena dianggap orang awam. Seperti ditulis dalam sampul muka kitab milik Ki Bagus Asmi, ”Alamat ikilah kitab petarekan Syattariyah kagem dening murid kang soleh aran Bagus Asmi ing desa Pagongan maka poma murid pecuwan ana kang wani amaca wong kang ora tunggal guru iku dadi paharam”.5
Fariza juga mengungkapkan tentang beberapa ajaran dzikir yang diamalkan, adab dan syarat-syarat menjadi anggota tarekat Syattariyah. Bahkan lebih rinci lagi, Fariza juga memaparkan tentang tata cara “menarik” dzikirnya secara teknis. Hal itu mirip dengan temuan Abdullah (1995, 1996), bahwa terdapat tradisi berdzikir, adab berdzikir, dan gambar daerah berdzikir dalam tarekat Syattariyah di Kanoman.
Abdullah juga menemukan perbedaan pengorganisasian (kepemimpinan) dalam tradisi tarikat Syattariyah di Cirebon. Pemimpin tertinggi adalah seorang koordinator pusat yang memimpin empat perguruan (pengguron), yaitu Pangeran Suleman Sulendraningrat. Tempat kantor pusat berada di Caruban Krapyak (Keprabon). Selain koordinator pusat, terdapat pula koordinator wilayah dan Cabang, seperti Tegal, Lampung, Kedu, dst.
Christomy (2008) dan Fathurrahman (2008) memaparkan bahwa Syattariyah di Cirebon berasal dari jalur Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Abdul Muhyi sendiri berasal dari jalur Abdurrauf As-Singkil dari Sumatera. Menurut Christomy,6 jalur penting Syattariyah di Cirebon berasal dari Paqih Ibrahim, putra Abdul Muhyi. Sementara itu, ajaran Syattariyah Cirebon ada kemiripan dengan Syattariyah yang berada di Kuningan dan Giriloyo, yang berbeda dengan di Minangkabau, dimana tidak ada kecenderungan pelucutan doktrin martabat tujuh dan wahdah al-wujud.7
Tarekat Syattariyah di Sumtera Barat, dikaji juga oleh Samad (2003). Samad melihat fenomena tarekat Syattariyah sebagai salah satu bentuk tradisionalisme Islam dalam menghadapi arus modernisasi di Sumatera Barat.8 Sementara itu, Fakhriati (2007) mencatat, bahwa Syattariyah di Aceh menunjukkan perkembangan yang cukup dinamis seiring dengan perubahan-perubahan zaman. Walaupun, hal itu tidak terjadi pada ajaran intinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan itu adalah pendidikan.
Barangkali, karena terdapat anggapan yang miring tentang ajaran martabat tujuh dan wahdah al-wujud yang berkembang di Cirebon, menurut Safari (2008), ajaran Tarekat Syattariyah tersebut bukanlah ajaran yang melegalkan seseorang untuk tarku al-syar’i, karena dalam tarekat itu kesempurnaan seseorang untuk mencapai derajat yang luhur di sisi Allah, hanya dapat dilakukan setelah menyempurnakan kewajiban syari’atnya. Safari juga menjelaskan berbagai simbol yang ada dalam iluminasi naskah yang dikajinya, seperti iluminasi 3 (tiga) ikan (iwak), motif gajah, dst. hanya saja, sayangnya peneliti kurang menjelaskan secara mendalam hubungannya dengan ajaran tarekat Syattariyah lainnya.
Dari penjelasan Syattariyah di atas, oleh Muhaimin (1995, 2002) ditegaskan bahwa Syattariyah yang berkembang di Cirebon berasal dari dua tradisi, yakni tradisi Kraton dan tradisi Pesantren. Syattariyah yang berkembang di Kraton seperti dijelaskan sebelum ini oleh Christomy, Fathurrahman, Safari, Abdullah, dan Fariza. Adapun Syattariyah yang berasal dari Pesantren Cirebon, diawali dari Pesantren Buntet oleh Kyai Anwaruddin Kriyani (Mbah Kriyan). Muhaimin juga menjelaskan tarekat lain yang berkembang pesat di Buntet, yaitu tarekat Tijaniyyah. Sekalipun, fokus Muhaimin bukan Syattariyah, tetapi informasi silsilah Syattariyah yang tidak melalui Syekh Abdul Muhyi menjadi catatan tersendiri untuk Syattariyah di Cirebon.
Tarekat Syattariyah di Cirebon pertama kali masuk melalui pesantren Buntet, baru kemudian Tarekat lain, seperti tarekat Tijaniyah. Tokoh kali pertama yang menyebarkan Syattariyah tersebut adalah Kyai Anwaruddin Kriyani al-Malebari (Ki Buyut Kriyan).9 Berbeda dengan Aceh (as-Singkili), Buyut Kriyan memperoleh tarekat Syattariyah dari Kaliwungu Jawa Tengah (Kiai Asy’ari). Dari Buyut Kriyan tarekat ini diteruskan Kyai Soleh Zamzami, Pesantren Benda Kerep (wilayah Kota Cirebon), sementara Buntet dalam wilayah kabupaten Cirebon. Hingga penelitian Muhaimin usai, tarekat berada di tangan Kyai Abdullah Abbas, Kyai Fuad Hasyim, dan Kyai Abbas Sobih (Kang Obih).
Sekalipun Mbah Muqoyim sebagai pendiri Pesantren Buntet adalah juga penghulu Kraton dan mursyid Syattariyah, tetapi Mbah Muqoyim tidak menyebarkan tarekat ini di Buntet. Kini, tarekat Syattariyah berkembang pesat di Pesantren Bendakerep di pinggir kota Cirebon. Bahkan, saat ini mursyid Syattariyahnya berada di Bendakerep, yang bernama Kyai Faqih.10

Naskah Syattariyah Cirebon, Koleksi (Milik) Masyarakat
Sebaran naskah kuna atau pernaskahan di Nusantara (Indonesia), nampaknya terbagi dalam 2 (dua) kategori, yakni naskah yang berada di kraton atau kerajaan (kesultanan), dan milik masyarakat. Namun, kategori yang kedua tersebut juga sesungguhnya masih dalam lingkungan kerabat kraton, baik pemilik, pemelihara, ataupun pewaris naskahnya. Untuk bahasan tulisan di sini mengambil naskah koleksi masyarakat.
Dari telusuran penulis, nampaknya hanya Safari (2010) yang secara khusus mengkaji naskah Syattariyah Cirebon.11 Naskah yang dikaji Safari ini berasal dari Kraton Kaprabonan, suatu tempat khusus pengajian agama Islam di lingkungan kesultanan Cirebon. Kelangkaan kajian tersebut, diamini petugas PNRI. Menurut pengelolanya, naskah itu belum pernah dikaji. Sebagai salah satu buktinya, naskah itu belum pernah digandakan (photo copy), atau dialih-mediakan, misalnya dengan mikro film, ataupun digitalisasi.
Seperti disebut di depan, naskah Syattariyah yang dikaji penulis berasal dari masyarakat, dimana mereka itu sebelumnya berada di lingkungan Kraton, tetapi sang pemilik naskah sekarang sudah tinggal di perkampungan seperti pada masyarakat umumnya. Istilah lainnya, naskah milik masyarakat, bukan milik Kraton ataupun perpustakaan publik.
Koleksi pribadi atau milik masyarakat, hingga tulisan ini dibuat telah ditemukan sekurangnya 9 (sembilan) naskah Syattariyah; 4 (empat) naskah di Sumber Cirebon, 2 (dua) di Gerilyawan Cirebon, 1 (satu) naskah di Pesarean Cirebon, dan 2 (dua) di Kedaung Cirebon. Dari 9 (sembilan) koleksi ini, alas naskah yang menggunakan kertas bergaris berjumlah 3 (tiga) naskah; Kedaung, Gerilyawan, dan Pesarean. Adapun 6 (enam) naskah lainnya beralaskan kertas Eropa, Sumber 4 (empat) naskah, 2 (dua) naskah lainnya Kedaung dan Gerilyawan. Teks naskah Syattariyah semuanya ditulis dengan bahasa Jawa-Cirebon dan aksara pegon.
Secara kodikologis,12 naskah ini ditulis dengan tinta yang digunakan dalam teks bermacam-macam, ada yang menggunakan warna biru, atau hitam, sementara rubrikasi berwarna merah. Lalu, tidak ada penomoran halaman, pada setiap halamannya, kecuali kertas Eropa ditulis dengan pensil ataupun sesuai tinta yang digunakan. Ukuran kertasnya, setiap naskah beragam; mulai dari ukuran 15 x 11 cm, 20,5 x 16,5 cm, hingga 33,3 x 16 cm. Dari beberapa naskah Syattariyah tersebut, tidak semuanya sebagai suatu naskah yang berdiri sendiri dalam satu kitab. Sebagian besarnya adalah bagian dari kumpulan naskah, semacam primbon ataupun ajaran-ajaran yang lainnya.
Dengan keterbatasan waktu dan kendala teknis lainnya, dari 9 (sembilan) naskah yang telah diinventarisir tersebut, dalam paparan di sini penulis hanya akan mendeskripsikan, meski tidak optimal naskah dari Gerilyawan yang beralaskan kertas Eropa. Naskah ini menurut Hilman, yang pernah melihat secara lengkap, merupakan bagian dari kumpulan teks lainnya, seperti primbon. Karena itu wajar saja, bila tidak dikenali sampul naskah, ataupun bagian punggungnya. Naskah yang sudah difoto digital sekitar tahun 2006 oleh Elin ini berukuran 15,5 x 18 cm, terdiri dari 11 (sebelas) baris pada setiap halaman recto-verso. Jumlah halamannya 88 dengan 1 (satu) halaman kosong di tengahnya dan tidak ada nomor halaman. Diperkirakan kertas Eropa dengan watermark pro patria. Khat yang digunakan berjenis naskhi dengan variasi riq'i. Tidak ditemukan kolofon dalam naskah ini. Tiga halaman pertama, bentuk tulisannya berbeda dengan halaman-halaman lainnya.
Dalam setiap bagian teksnya, kecuali pendahuluan, diawali dengan lafal, "Bismillahirrahmanirrahim". Naskah yang tidak ada judulnya ini berisi tentang do'a, ajaran, silsilah dari Tarekat Syattariyah, dan symbol-simbol yang ada di dalamnya.
Teks awal terkait dengan Syattariyah, dimulai dengan punika du'a saking nabiyallah, winaca lamon priyatin, atawa kesusahan… Bahwa teks ini merupakan Syattariyah diketahui dari bunyi teks di bagian berikutnya;
Bismillahirrahmanirrahim // Ikilah kitab ingdalem anyataaken turun2ne dadalan syattariyah kang tedak saking Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam maring sayidina Ali kang anak Abi Thalib….

Pembahasan tentang dzikir melalui lafal "La ilaha illa allah", sepertinya menjadi bagian penting naskah Syattariyah ini. Masih dalam lafal tersebut, terdapat penjelasan yang terbagi dalam beberapa alam; alam ajsam, alam insan kamil, dst. Lebih jauh lagi, terdapat penjelasan tentang beberapa a’yan; a’yan tsabita, a’yan kharijiyah, lalu hal-hal lainnya juga ditulis dengan tegas, sekitar martabat tujuh. Bahkan, penjelasan lainnya, bagaimana dzikir harus dilakukan, secara rinci juga dijelaskan. Termasuk, misalnya bagaimana hikmah atau manfaatnya, secara tidak langsung dipaparkan pula. Sehingga ketika berdzikir itu perjumpaan dengan Allah menjadi sesuatu yang sangat penting.
Hal-hal semacam itu, jika mau membandingkan dengan naskah-naskah Syattariyah Cirebon lainnya, muatan isinya memang mirip dan hampir tidak berbeda, kecuali susunan struktur (sistematika), dan redaksinya saja. Dalam konteks itulah kajian naskah Syattariyah penting dari sisi tekstologi.
Hanya saja, dalam naskah lain seperti yang di Sumber, atau yang telah dikaji Safari, terdapat beberapa kreasi dari setiap dzikir itu yang mewujud dalam berbagai simbol. Di antara simbol yang kemudian menjadi trade mark bendera salah satu Kraton di Cirebon adalah bentuk 3 (tiga) iwak (ikan). Bahkan lafal "La ilaha illa allah muhammadan rasul allah" dalam kitab yang menggambarkan simbol ikan tersebut, dijelaskan pula dengan sangat hati-hati dan berdasarkan ilmu-ilmu lainnya.

Neo-Sufisme dan Tarekat Syattariyah Cirebon
Dari deskripsi singkat naskah tersebut, kiranya jelas telah muncul beberapa istilah penting, baik yang berbentuk konsep ataupun teori yang sering disebut dalam ilmu tarekat dan tasawuf, seperti kata syattariyah, silsilah (keturunan), dzikir, a’yan tsabitah, a’yan kharijiyah, alam insan kamil, alam ajsam, alam misal, alam arwah, martabat dzat, martabat sifat, martabat asma’, dst.
Dari istilah-istilah tersebut, nampaknya terdapat usaha ‘peleburan’ ajaran Islam dengan perpaduan antara syariat dan tasawuf. Pemikiran atau praktek semacam itu tentu saja sesuatu yang baru dalam ranah keislaman. Sikap demikian itu disebut oleh Rahman sebagai sufisme ortodoks atau neo-sufisme.13 Dalam konteks Islam nusantara, istilah-istilah tersebut sepertinya menemukan konteks lokalnya sebagai ciri khas daerahnya. Berkaitan dengan tasawuf sebagai model yang diperbaharui tersebut, perlu kiranya dijelaskan secara deksriptif dan komparatif dari berbagai tokoh tasawuf dan tarekatnya.

a. Tasawuf dan Tarekat
Istilah tasawuf selaras dengan sufisme, nama lain dari mistik Islam.14 Secara universal, tasawuf adalah falsafah hidup dan metode tertentu dalam suluk yang dilakukan manusia untuk merealisasikan kesempurnaan akhlak, pemahaman tentang hakekatnya, dan kebahagiaan ruhaninya.15 Menurut Syekh Ibn Ajiba (1809), sufisme adalah pengetahuan yang dipelajari seseorang agar dapat berlaku sesuai dengan kehendak Allah melalui penjernihan hati dan membuatnya riang terhadap perbuatan-perbuatan yang baik.16
Dari definisi tasawuf tersebut, yang nampaknya berbeda, tetapi mempunyai beberapa kesamaan, penting kiranya untuk melihat kategorisasi karakterisktik yang dilihat al-Taftazani. Secara umum, al-Taftazani mencatat karakteristik (khasa’is) tasawuf (sufisme) itu ada 5 (lima) hal17: pertama, al-taraqi al-akhlaqi (peningkatan moral), yakni mempunyai tujuan tasfiyah al-nafs (penyucian jiwa) dengan mujahadah (sungguh-sungguh), melalui riyadah (latihan), dan zuhud (menghindari) kehidupan duniawi-materialis.
Karakteristik kedua, al-fana’ fi al-haqiqah al-mutlaqah (kesirnaan dalam hakekat (realitas) yang mutlak. Inilah ciri tasawuf dengan maknannya yang mendalam. Fana’ yang dimaksud adalah melakukan latihan-latihan (riyadatih) secara psikis hingga pada kondisi tertentu, lalu dirinya sampai tidak merasakan keakuan dirinya. Sebagaimana dia merasakan kekekalan (baqa’) bersama hakekat yang mutlak. Bahkan, dirinya merasakan kesirnaan kehendak (iradah) dirinya dalam kehendak yang mutlak.
Ketiga, al-‘irfan al-zauqi al-mubasyir (pengetahuan intuisi langsung). Aspek ini pembeda secara epistemologis dengan filsafat. Jika dalam filsafat realitas dipahami sesuai dengan metode-metode rasional (manahij al-‘aql), sementara dalam tradisi sufi, terdapat realitas di balik pengetahuan indrawi (al-hiss) yang sering disebut dzauq (intuisi) ataupun kasyf , dst. Kasyf ini datangnya sangat cepat.
Keempat, al-tuma’ninah au al-sa’adah (ketenangan atau kebahagiaan). Karakteristik ini terdapat pada semua sufi, karena hal inilah yang menjadi tujuannya. Bahkan kelompok sufi yang menyetujui adanya fana’ juga dapat merasakan ketenangan ketika dalam situasi seperti itu.
Kelima, al-ramziyah fi al-ta’bir (simbolisme dalam pengungkapannya). Terdapat dua makna dalam tradisi sufi tentang simbolisme ini; pertama, dilihat dari dhahirnya kata-kata; kedua, dilihat dari analisis (al-tahlil) dan kedalamannya. Hanya para sufi sajalah yang dapat merasakan makna yang kedua tersebut. Sebab, setiap sufi mempunyai cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi yang dialaminya. Simbolisme inilah, makanya sufi dekat dengan seni.
Karakteristik tasawuf tersebut, dapat dijadikan kerangka untuk melihat beberapa tipologi tasawuf. Al-Taftazani sendiri menyebut ada dua jenis tasawuf, tasawuf suni dan filosofis (al-falsafi). Jenis pertama, sering pula disebut tasawuf yang berdasarkan ajaran ahlussunnah waljama’ah. Tokoh utama yang sering disematkan jenis ini adalah al-Ghazali. Adapun tasawuf filosofis adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan rasional penggagasnya. Beberapa tokoh pentingnya antara lain, Suhrawardi al-Maqtul, dan Muhyiddin Ibn ‘Arabi.18 Seiring dengan perkembangan tasawuf, dimana awalnya bersifat personal dan kemudian menjadi institusional, semacam lembaga para sufi, muncullah kategori tasawuf dengan tipe neo-sufisme.
Terdapat suatu proses dari para sufi hingga disebut dalam beberapa kategori tersebut. Proses itulah sering disebut dengan “jalan” para sufi (tariq). Annemarie Schimmel sedikit membedakan tariq dengan salik (pengembara, tapi santri/murid). Schimmel juga menyebut jalan para sufi itu disebut dengan tarekat. Tarekat ini digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat. Dimana jalan utamanya disebut syar’ dan anak jalannnya adalah tariq.19 A. Nicholson menyebutkan secara lebih lugas lagi: “Sufi melakukan ‘pengembaraan’ dengan perlahan-lahan melalui tahapan-tahapan (maqamat) tertentu setelah melewati ‘lintasan’ (tariqat), guna mencapai tujuan untuk bersatu dengan kenyataan (fana’ fi al-haq).20
Menurut Trimingham, organisasi tarekat telah muncul di beberapa tempat dengan nama dan ajaran yang berbeda-beda sesuai dengan nama para Sufinya; di Mesopotamia (Suhrawardiyya, Rifa’iyya, dan Qadiriyya); Mesir dan Magrib (Syadhili, Wafa’iyya); Iran, Turki, dan India (Kubrawiyya, Yasaviyya, Mawlawiyya, Khawajagan-Naqsabandiyya, Syattariyya).21
Seperti yang tertulis dalam naskah, nama tarekat ini (yang akan dikaji) adalah Syattariyah. Jalur terdekat hingga ke Cirebon tarekat ini berasal dari Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan Tasikmalaya, Jawa Barat dan Syekh Abdurra’uf as-Singkili di Aceh, Sumatera, serta Kyai Asy’ari di Kendal.

b. Syattariyah di Cirebon
Konsep “makhluk wujud kang muqayyad” dalam naskah, lalu disebutkan pula empat jenis alam, serta ahadiyah, wahdah, dan wahidiyah, seperti juga ditulis Christomy, hal itu sebagai martabat tujuh (sevens grade),22 penting untuk dilihat pendapat Martin van Bruinessen. Menurut Bruinessen, teori martabat tujuh tersebut barangkali berasal dari Muhammad bin Fadllallah Burhanpuri, sufi abad ke-17 dari India. Awalnya teori itu lima tahapan emanasi sebagaimana dalam dalam Insan al-Kamil-nya al-Jili.23 Dikatakan pula, bahwa unsur khas Jawa telah masuk dalam pembacaan tentang empat huruf Arab yang membentuk nama Allah, empat unsur (api, angin, air, dan tanah), empat unsur pembentuk tubuh (daging, sumsum, kulit, dan tulang), empat jiwa (nafsu) atau keadaan jiwa (nafsu amarah, nafsu lawamah, nafsu sawiyah, dan nafsu mutmainnah), dan empat alat indera (telinga, mata, mulut, dan hidung).24
Dalam naskah juga disebutkan tentang murid, dimana terdapat 4 (empat) kategori; mubtadi’, mutawasit, kamil, dan kamil mukamil, lalu dipaparkan tentang posisi maqam, dan termasuk dalam kategori ke-alam-annya. Hal itu seperti ditulis oleh Trimingham tentang jadwal al-suluk,25 sekalipun tidak sama persis.
Sementara menurut Rahman, konsep ‘alam al-misal merupakan ajaran sufi yang dikembangkan as-Suhrawardi, yakni suatu dunia citra-citra ontologis dimana realitas spiritual dari ‘alam atas’ mengambil bentuk citra-citra konkrit, dimana jasad-jasad kasar dari alam materi ini ‘alam bawah’ berubah menjadi jasad-jasad halus dan citra-citra.26
Kiranya, dengan model pembahasan semacam itu, beberapa istilah konsep dalam naskah Syattariyah yang dianggap perlu untuk dideskripsikan secara analisis komparatif dan kritis. Sehingga, konteks atau cita rasa lokal Cirebon dapat terungkap keunikannya.
Sekedar menyebut beberapa buku tasawuf dan tarekat yang dapat membantu analisis, selain yang telah disebut dalam tulisan ini adalah al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awa’il (Syaikh ‘Abd al-Karim ibn Ibrahim al-Jili, jilid I dan II); al-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘ilm al-Tasawwuf (Abi al-Qasim ‘Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi al-Naisaburi); Siyar al-Salikin fi Tariqah al-Sadat al-Sufiyyah (Syaikh ‘Abd al-Samad al-Falimbani); al-Simt al-Majid fi Sya’n al-Ba’ah wa al-Zikr wa Talqinih wa Salasil Ahl al-Tauhid (Ahmad ibn Muhammad al-Qusyasyi); Usul al-Tariq; Dirasah ‘an al-Junaid al-Bagdadi (Muhammad Mustofa).

Intertekstual dan Sejarah Pemikiran Intelektual Islam Nusantara

Mengkaji tarekat Syattariyah di Cirebon, nampaknya tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Islam di Kraton dan Pesantren Cirebon. Dinamika Islam di Kraton Cirebon juga tidak bisa ditinggalkan dari pertumbuhan Islam di nusantara. Seperti diketahui, kejayaan Islam di nusantara, (nampaknya) sejalan dengan kejayaan kerajaan Islam (Kesultanan) di setiap daerahnya. Seiring dengan kehadiran para penjajah, kemunduran-pun terjadi pada hampir semua Kesultanan nusantara. Terlebih lagi, pada saat yang sama, nasionalisme dan isu negara-bangsa telah menjadi diskursus tersendiri oleh masyarakat dunia sebagai peralihan kekuasaan dari otoritarianisme (monarkhi), menuju suatu pemerintahan demokratis.
Seiring dengan kemerdekaan Indonesia, telaah atas sejarah Islam masuk ke nusantara (baca: Indonesia) hingga kini masih menjadi bahan perdebatan, apakah melalui para pedagang Arab, seperti dikatakan Van Leur, atau proses islamisasi tersebut lebih banyak dilakukan para sufi, sebagaimana dikatakan A. Johns?27
Terlepas dari perdebatan teori Islam masuk nusantara tersebut, Islam di Cirebon menurut berbagai sumber lokal, semacam tradisi lisan, Babad Cirebon, atau yang lainnya,28 berawal dari putra seorang Raja Sunda, Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang) dan adiknya, Nyai Rarasantang yang belajar Islam kepada Syekh Datul Kahfi dan Syekh Nurjati. Setelah itu, keduanya diperintah untuk melakukan ibadah haji ke Mekah. Adiknya kemudian menikah dengan seorang ulama setempat, dan Cakrabuana kembali ke tanah Sunda. Cakrabuana lalu diminta ganti nama oleh gurunya, dengan sebutan Ki Samadullah atau H. Mansur untuk membuka daerah baru dengan nama Caruban (kini, Cirebon).
Nyai Rarasantang kemudian mempunyai seorang putra bernama Syarif Hidayatullah. Setelah dianggap cukup mendalami ilmu agama di negara ayahnya, Hidayatullah ingin pergi ke tanah leluhurnya di Jawa, Caruban. Hidayatullah bertemu dengan pamannya yang telah menjadi penguasa setempat. Lalu Hidayatullah belajar pada guru pamannya, dan berguru kepada para wali di Demak Bintoro, Giri, dst. Karena dianggap sudah mumpuni keilmuan Islamnya, oleh para wali Hidayatullah diberi amanat untuk menyebarkan Islam di tanah Sunda, saat ini Jawa Barat.
Dari cerita singkat tersebut, Islam di Cirebon mempunyai jejaring intelektual atau sejarah pemikiran Islam dengan berbagai daerah dan negara muslim lainnya. Seperti disebut sebelum ini, naskah Syattariyah Gerilyawan diperkirakan dibuat pada tahun 1900-an. Kontak Islam di Cirebon saat itu tentu saja sudah mengalami berbagai perkembangan, termasuk di dalamnya telah berkembang tarekat Syattariyah. Seperti kajian sebelum ini, penulis menemukan bahwa silsilah (jaringan) tarekat Syattariyah di Cirebon, selain dari Kraton juga terdapat di Pesantren. Antara Kraton dan Pesantren, mempunyai silsilah yang berbeda, khususnya bila dilihat dari nusantara dan Jawa Barat, yakni Syekh Abd al-Muhyi dan Syekh Abd al-Ra’uf al-Singkel. Ternyata di Kraton sendiri, juga ditemukan perbedaan silsilah, bila harus melalui dua tokoh tersebut.
Berkaitan dengan perbedaan silsilah atau jaringan intelektual tarekat Syattariyah tersebut, atau untuk mencari kaitan Islam di Cirebon dengan Islam Nusantara, metode intertekstual dan sejarah pemikiran bisa digunakannya. Kedua metode ini telah digunakan Azyumardi Azra (1992) dalam kajian sejarah ulama Timur Tengah-Kepulauan Nusantara abad ke-17/18 dalam bidang tasawuf/tarekat; lalu Abdurrahman Mas’ud (1996), tentang pemikiran keagamaan para ulama-ulama penting pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, bahkan kajiannya juga menyinggung hubungan tradisi intelektual Kraton Jawa dan dunia Pesantren.
Bila konteks Syattariyah Cirebon ala kraton, transmisi intelektual berasal dari Syekh Abd al-Muhyi (Pamijahan) dan Syekh Abd al-Rau’f (Singkel), mirip dengan temuan Christomy dan Fathurrahman, sekalipun dalam temuan Safari, kedua tokoh ini tidak ditemukan dalam silsilahnya, tetapi tokoh lainnya, semisal Syekh Muhammad Qadi Hudayat ibn Yahya. Hal serupa jika melihat silsilah atau jaringan intelektual Syattariyah ala pesantren Cirebon, dalam kasus tulisan ini pesantren Buntet, yakni berasal dari Kyai Asy’ari (Kendal). Dari keragaman jaringan intelektual Syattariyah Cirebon ini menunjukkan pula, bahwa Islam di Cirebon, tidak bisa dilepaskan dari Islam Nusantara, baik kraton maupun pesantrennya.

Penutup

Demikian, paparan tentang tarekat Syattariyyah Cirebon dalam kajian awal. Dari penelusuran tersebut, terlihat bahwa naskah Syattariyah yang jumlahnya tersebar di perpustakaan, scriptorium, ataupun di tangan masyarakat masih belum dikaji secara maksimal. Padahal, dengan muatan teks dan kodeks yang sangat beraneka macam itu, memungkinkan lebih lanjut untuk dikaji secara serius dan mendalam, terutama terkait dengan doktrin tasawuf dan tarekat.
Lebih jauh lagi untuk mengungkap tarekat Syattariyah Cirebon, baik yang berkembang di Kraton (istana), maupun di Pesantren (masyarakat) merupakan sesuatu yang penting dilakukan dan dapat memberi manfaat luas bagi perkembangan Islam di nusantara (Indonesia) secara umum, dan khususnya Islam di Cirebon yang memadukan berbagai budaya, serta terkait dengan jaringan intelektual nusantara.[]














Daftar Pustaka

Abady, HM. Yusrie. “Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Propinsi Jawa Barat”, dalam Musda Mulia, dkk. (edit.), Katalog Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Indonesia II, Jakarta: Balitbang Agama Depag, 1998
Abdullah, Muhammad. “Paham Wahdat al-Wujud dalam Naskah Satariyah Karya Syeikh Abdurrouf Singkel: Suntingan Teks dan Pengungkapan Isinya”, Jakarta: Penelitian,1995).
______. “Doktrin Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi dalam Naskah Syattariyah: Suntingan dan Kajian Isi Teks”, Jakarta: Tesis UI, 1996
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Prenada, 2004. edisi revisi.
Behrend (penyunt.), T.E. Katalog Induk Naskah –naskah Nusantara Jilid 4, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta: YOI-EFDO, 1998
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999. cet. III
Christomy, Tommy. “Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of Pamijahan”, Studia Islamika, 8/2: 2001
______. Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java, Australia: ANU Press, 2008
Ekadjati, Edi S. dan Undang A. Darsa. Oman Fathurrahman (penyunt.) Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: YOI-EFEO, 1999.
Fariza, Atiek. “Tarekat Syattariah di Keraton Kanoman Cirebon”, Jakarta: Skripsi UI, 1989
Fathurrahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks Jakarta: Prenada, 2008
Haeri, Syaikh Fadhlallah. Jenjang-jenjang Sufisme, penterj. Ibnu Burdah dan Shohifullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Muhaimin, AG. The Islamic Traditions of Cirebon: Adat and Among Javanese Muslims, Australia: ANU Press, 1995
_____. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, penterj. A. Suganda. Jakarta: Logos, 2002, cet. II
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. “Kodikologi Melayu di Indonesia”, Lembar Sastra edisi khusus No. 24 Fakultas Sastra UI Depok;
Nicholson, Reynold A. Mistik dalam Islam, penterj. tim BA. Jakarta: Bumi Aksara, 1998
Pudjiastuti, Titik. Naskah dan Studi Naskah: Sebuah Antologi. Bogor: Akademia, 2006
Rahman, Fazlur. Islam, penterj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1997. cet. III.
Robson, S.O. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, penterj. Kentjanawati Gunawan. Jakarta: RUL, 1994
Safari, Achmad Opan. “Tarekat Sattariyah Kraton Kaprabonan Suatu Kajian Filologis”, Bandung: Tesis Unpad, 2010
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, penterj. Sapardi Djoko Damono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009. cet. III.
al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami. al-Qahirah: Dar al-Saqafah, 1983
_______. Sufi dari Zaman ke Zaman, penterj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985
Teeuw, A. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003. cet. III
Trimingham, J. Spencer The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University, 1971


























Endnotes :


 Dosen IAIN Syekh Nurjati, Institut Studi Islam Fahmina Cirebon, & Mahasiswa S-3 filologi, Departemen Sastra Fakultas Ilmu Budaya UI Depok
1Terkait dengan kajian awal naskah (filologi) di Indonesia ini, bisa dilihat pada A. Teeuw, Sastera dan Ilmu Sastera, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2003) cet. III, h. 217-222
2J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam, (Oxford: Oxford University, 1971), h. 130.
3Setiap silsilah atau jalur tarekat Syattariyah di Cirebon yang berbeda itu lebih lanjut bisa dilihat pada Tomy Christomy, Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java, (Australia: ANU Press, 2008), h. 99-104; Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks (Jakarta: Prenada, 2008), h. lampiran 2-6; dan Muhaimin, AG. The Islamic Traditions of Cirebon: Adat and Among Javanese Muslims, (Australia: ANU Press, 1995), h. 248-251; dan Ahmad Achmad Opan. “Tarekat Sattariyah Kraton Kaprabonan Suatu Kajian Filologis”, (Bandung: Tesis Unpad, 2010), h. 96-99.
4Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), cet. III, h. 197.
5Atiek Farizah, “Tarekat Syattariah di Keraton Kanoman Cirebon”, (Jakarta: Skripsi UI, 1989), h. 29. Hingga tulisan ini dibuat, ternyata tidak semua pemilik naskah melakukan "pelarangan" hal serupa, seperti yang terjadi pada penulis sendiri, yakni oleh beberapa pemilik naskah diberi kesempatan untuk membaca naskah Syattariyah. Bahkan, karena terdapat isitilah-istilah khusus, tidak jarang penulis juga diminta untuk menjelaskannya, bila dianggap perlu.
6Tomy Christomy, Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java, (Australia: ANU Press, 2008), h. 103.
7Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks (Jakarta: Prenada, 2008), h. 95-98.
8Ibid. h 21.
9Menurut penuturun salah seorang keluarga Buntet, Ki Buyut Kriyan pernah menjadi salah seorang penghulu di Kraton pada masa hidupnya.
10Seperti dituturkan via telpon oleh Kang Miftah, putra dari Kyai Faqih sang mursyid.
11Peneliti lainnya, seperti Abdullah (1995/1996) memang mengkaji naskah Syattariyah Cirebon, tetapi di bandingkan dengan yang lainnya.
12Lebih jauh tentang kodikologi, lihat pada S.O. Robson, Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, penterj. Kentjanawati Gunawan, (Jakarta: RUL, 1994); Sri Wulan Rujiati Mulyadi, “Kodikologi Melayu di Indonesia”, Lembar Sastra edisi khusus No. 24 Fakultas Sastra UI Depok; Titik Pudjiastuti, Naskah dan Studi Naskah: Sebuah Antologi, (Bogor: Akademia, 2006).
13Fazlur Rahman, Islam, penterj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1997), cet. III, h. 198. Analisis lebih mendalam bisa dilihat pada Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Prenada, 2004) edisi revisi, h. 119-153.
14Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, penterj. Sapardi Djoko Damono, dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009) cet. III, h. 1.
15“anna al-tasawuf bi wajh am falsafah hayah wa tariqah mu’ayyanah fi al-suluk yattakhiduhuma al-insan litahqiq kamalih al-akhlaqi, wa ‘irfanih bi al-haqiqah, wa sa’adatih al-ruhiyyah”, dalam Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami , (al-Qahirah: Dar al-Saqafah, 1983), h. 3.
16Syaikh Fadhlallah Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme, diterjemahkan dari The Element of Sufism oleh Ibnu Burdah dan Shohifullah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 4
17al-Taftazani, Madkhal. Ibid., h. 6-8. Lihat juga, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, penterj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 4-6
18al-Taftazani, Sufi dari., ibid. h. 187-233. Kategorisasi semacam ini, kiranya masih perlu diperdebatkan lagi, selain kategori yang berbeda dari sisi doktrin, juga kategori ini cukup simplistis.
9Schimmel, Dimensi Mistik., Ibid., h. 123.
20Reynold A. Nicholson, Mistik dalam Islam, penterj. tim BA, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 22
21Trimingham, The Sufi . Ibid., h. 33-65.
22Christomy, Signs of the Wali. Ibid., h. 117-126
23Bruinessen, Kitab Kuning. Ibid, h. 233. Lihat pula catatan kaki 25.
24Ibid.
25Trimingham, The Sufi. Ibid, h. 152-153
26Fazlur Rahman, Ibid., h. 178.
27Mengutip pendapat Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Nusantara, h. 52-53. J.C. van Leur dalam Indonesian Trade and Society (1955), dan Anthony Johns, “Sufism as a category in Indonesian Literature and History” JSEAH, 2 (1961). Selanjutnya, kajian Islam masuk nusantara bisa dilihat juga pada Azra, Jaringan Ulama., h. 2-19
28Berbagai sumber lisan dan tertulis.

Minggu, 29 April 2012

Sil-silah Syattariyah Jawa Tengah

Silsilah Tarekat Syattariyah Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat Syattariyah memiliki sanad atau silsilah para wasilahnya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW.
Pengikut Syattariyah meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang (wasilah/guru penerus) ini tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasilah (yang masih hidup maupun Wasilah yang akan menggantikannya) jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.

Berikut sebagian sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasilahnya di Indonesia, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah:

1. Rabbul Izzati Jalla Jallaluhu Subhanahu Wa Taala
2. Al-Amin Jibrail Shahibul Wahyi
3. Saiyyidul Kaunain Wa Jaddul Hasanain Nabi Muhammad SAW
4. Imamul Masyriq Wal maghrib Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib, kepada
5. Ahadu Ruhaniyatir Rasul Ibnu Fatimah Al-Imam al-Husein bin Ali asy-Syahid, kepada
6. Imamul Muttaqin Wa Qudwatul Auliya' Allah As-Salihin Al-Imam Zainal Abidin, kepada
7. Ruhaniyah Al-Imam Muhammad Baqir, kepada
8. Ruhaniyah Al-Imam Imam Ja'far Syidiq, kepada
9. Ruhaniyah Sulthanul 'Arifin Abu Yazid al-Busthami, kepada
10. Al-'Arif Billah Syekh Muhammad Al-Maghribi, kepada
11. Quthubul Autad Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada
12. Jami'ul Autad Maulana Rumi ath-Thusi (Syeikh Abil Muzhaffar Tarkut Thusi,kepada
13. Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada
14. Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada
15. Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh
16. Muhammad Arif, kepada
17. Syekh Abdullah asy-Syattar (Imam qodil Qudah Burhanudin El Mula Abdullah Asy Syatari, kepada
18. Syeikhul Masyayikh Al'Allamu Syeikh Qadhi As-Syathari
19. Qudwatul Auliya' Al'Arifin Syekh Hidayatullah Saramat Sirru Mista, kepada
20. Quthubul aqthab Wa Ghautsul Autad Syeikh Haji Hushrur/ Kharij Hudhuri, kepada
21. Gautsul Jami'i Saiyiduna Muhammad Bin Khathiruddin Al-Ghauts, kepada
22. Imamul Quddam Wa 'Ulamaul 'Alam Saiyiduna Wajihudin Al'Alawi Al-Qujarati, kepada
23. Sultanul 'Arifin Sayyidi Sibghatullah bin Ruhullah, kepada
24. Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ibnu Ahmad At-tanawi Thaiyibullah Tsarahu, kepada
25. SQuthbul Madar Wa Qudrotul Muqorrobin Syekh Ahmad Al-Qusyasyi, kepada
26. Syekh Abdul Rauf Singkel bin Ali Fansuri, kepada
27. Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada
28. Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah bin Yusuf Mugosari) di Safarwadi, kepada
29. Panembahan Pemlaten (sunan Gunung Jati), kepada
30. Raden Margono Sahid (Sunan Kalijaga), kepada
31. Pangeran Cinde Amoh/ Syeikh Sebad Kingkin (sepet Aking)
32. Ki Ageng Rendeng Empu Guno Sentiko (Maospati)
33. Kiai Ageng Aliman Sumoroto(Pacitan), kepada
34. Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada
35. Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada
36. Nyai Ageng Hardjo Besari Tegalrejo, kepada
37. Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada
38. Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada
39. Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada
40. KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).

Jateng
dari Guru ke 36 Nyai Ageng Hardjo Besari Tegalrejo, kepada
37. Kyai Abdurrahman Sarimuh Bogem
38. Kyai Cipto Prawiro (Mangkubumen Solo)
39. Kyai Noto Shendro (Kebon Dalem Grobogan) kepada
40. Syekh Romo Kyai Suwardi (grobogan, 1965-1970) kepada
41. Syekh Romo Kyai Muhammad Kasran (Grobogan 1970-2001) dan Kepada
42. Syekh Romo Kyai Haji Muhammad Nur warji (2001-Sekarang)Ds. Banyurip, Suru, Geyer, Grobogan.

Ajaran dzikir Syattariyah

Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur'an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.

Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir Utama yaitu sebagai berikut:
1. Dzikir Nafi Isbat, Laa ilaha illallah yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah. yang disimbolkan dalambentuk huruf lam-alif
2. Dzikir itsbat, yaitu dzikir dengan itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
3. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
4. Dzikir Zuhud Kasroh Bi Wahdah, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
5. Dzikir Zuhud Wahdah Bi Kasroh, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
6. Dzikir Isaroh, yaitu dzikir Hu,....., Hu ..., Hu .... (..... adalah zikir siri yang hanya diberikan oleh Guru Wasilah saat Baiat) dengan mata dipejamkan dan nafas ditarik dari bawah pusar, menuju ke baitul makmur.
7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu (diam) zikir dengan mulut terkatup, lidah menekan langit-langit dengan mata dipejamkan ditujukan pada puncak gunung tursina (tengah antar kedua alis). yaitu perpaduan HU dan siri

Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)". Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:

Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, 'ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana'ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara', riyadlah, dan menepati janji.
Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: ainul wujud, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

ajaran zikir Syattariyah secara global adalah zikir yang selalu dibawa dalam setiap nafas, karena nafas adalah tasbih yang akan putus saat kematian menjemputnya. Dengan harapan bahwa hidup yang selalu dihiasi Zikrullah maka semua aspek dalam diri dan kepada lingkungan akan selalu berpedoman kepada hal kebaikan dan kemaslahatan umat manusia tanpa membedakan suku, agama, budaya dan ras.

(sumber sufinews.com dan buku pedoman jamaah Syattariyah)